Makalah Ulum Al-Quran tentang pengertian dan proses pewahyuan serta kodifikasi dan sejarah pencetakan Al-Quran
Makalah Ulum Qur’an dan
Hadits
PENGERTIAN WAHYU DAN PROSES
PEWAHYUAN SERTA KODIFIKASI AL- QUR’AN DAN SEJARAH PENCETAKAN AL- QUR’AN
DISUSUN
OLEH
KELOMPOK : 2
ANGGOTA :
FAJAR RAMADHAN
NURUL MAGFIRAH
DOSEN PEMBIMBING :
FITHRIANI M.Ag.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR- RANIRY
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Segala puji dan
syukur yang tiada hentinya bagi ALLAH SWT yang telah menolong hamba-Nya
menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan, rahmat dan
karunia-Nya, kami tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Qur’an dan Hadist” dan
lebih lanjut semoga makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan seputar “Pengertian
wahyu dan proses pewahyuaan serta kodifikasi Al- Qur’an dan sejarah pencetakan
Al- Qur’an”.
Dalam penyusunan
makalah ini, kami tim penyusun telah berusaha semaksimal mungkin sesuai
kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan
dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi
walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah ini
meskipun tersusun sangat sederhana.
Kami menyadari tanpa
kerja sama antara dosen pembimbing dan pihak lain yang memberi berbagai masukan
yang bermanfaat bagi kami demi tersusunnya makalah ini. Untuk itu kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak tersebut di atas yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran makalah
ini.
Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Atas kesediaan
waktunya untuk membaca makalah ini, kami ucapkan terima kasih.
Banda Aceh, Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii......
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
3. Tujuan .............................................................................................................. 1
BAB II. PEMBAHASAN .......................................................................................... 2
1. Pengertian Wahyu ............................................................................................ 2
2. Proses Peawahyuan .......................................................................................... 5
3. Kodifikasi Al- Qur’an ...................................................................................... 7
4. Sejarah Pencetakan Al- Qur’an ...................................................................... 11
BAB III. PENUTUP ................................................................................................. 15
1. Kesimpulan .................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kita sebagai
masyarakat muslim pasti tahu dengan yang namanya wahyu, terlebih lagi para
akademisi yang ada di dalam sebuah naungan lembaga pendidikan islam, tampaknya
nama tersebut melekat erat di benak mereka. Namun pengetahuan mengenai apa
sesungguhnya atau hakekat dari kata tersebut dan setelah mengetahu apa makna
dari wahyu, maka ada baiknya kita juga memahami bagaimana proses pewahyuan
tersebut.
Wahyu merupakan salah satu mukjizat yang luar
biasa yang diberikan kepada Nabi dan Rasul. Wahyu ini diturunkan sesuai dengan
sesuatu yang akan terjadi pada zaman ini, wahyu diturunkan melalui perantara
malaikat jibril, lalu malaikat jibril menyampaikan kepada Nabi dan Rasul yang
dikehendaki -Nya.
Wahyu meliputi semua teks yang menunjuk pada
titah Allah kepada manusia. Jadi Al-Qur’an merupakan bagian atau salah satu
dari wahyu. Karena wahyu tidak hanya turun kepada nabi Muhammad saja, akan
tetapi juga turun kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad. Di samping itu, dalam
konteksnya, wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saja tidak hanya Al-Qur’an,
akan tetapi juga berupa hadist, baik yang berupa hadist qudsi maupun hadist
nabawi.
Selanjutnya
sabagai umat muslim yang telah memahami apa definisi dan bagaimana proses dari
pewahyuan, serta telah mengetahui bahwa Al- Qur’an adalah wahyu Allah kepada umat
muslim yang diajarkan oleh Rasulullah, maka kita juga perlu mengetahui
bagaimanakan kodifikasi Al- Qu’an itu serta sejarah dari pencetakan Al- Quran
itu sendiri sebelum akhirnya Al- qur’an tercetak indah pada zaman sekarang.
2.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Apa definisi dari wahyu?
b.
Bagaimanakan proses pewahyuan?
c.
Bagaimanakan kodifkasi Al- Qur’an?
d.
Bagaimanakan sejarah pencetakan Al- Qur’an?
3.
TUJUAN
a.
Memahami tentang definisi atau pengertian dari kata wahyu, baik secara
bahasa maupun istilah.
b. Memahami tentang bagaimana wahyu
diturunkan kepada malaikat sebelum malaikat menyampaikan kepada Nabi atau Rasul
yang di kehendaki Allah SWT.
c.
Memahami tentang kodifikasi Al-
Qur’an
d.
Memahami tentang sejarah pencetakan Al- Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN WAHYU
Kata wahyu menurut para ulama’ mempunyai dua
arti al ikhaau memberi wahyu dan almuukhaabihii yang diwahyukan. Kata
wahyu berasal dari fi’il madhi وحى او اوحى yang
berarti pemberian isyarat dengan cepat. Wahyu merupakan pemberian secara
tersembunyi dan cepat, khusus ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa
diketahui orang lain. Wahyu adalah hubungan gaib bersifat tersembunyi antara
Allah dengan orang-orang yang telah di sucikan-Nya (Rasul & Nabi) dengan
tujuan menurunkan kitab-kitab suci Samawi dengan perantara malaikat yang
membawa wahyu (Jibril)[1].
Wahyu dengan
arti bahasa dapat di golongkan sebagai berikut:[2]
a)
Ilham murni pada manusia, seperti
informasi kepada ibunya Nabi Musa dalam ayat yang artinya “ Dan (ingatlah) ketika kami (ilhamkan) kepada ibu Nabi Musa supaya
menyusuinya.” Q.S. Al- Qashas/28:7
b) Ilham
insting pada hewan, seperti wahyu pada lebah pada surah al- Nahl yang artinya “Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit ,di
pohon-pohon kayu,dan di tempat-tempat yang di bikin manusia” Q.S An –nahl
/16:68
c) Isyarat
dengan cepat dengan menggunakan simbol atau sejenisnya ,sebagaimana
isyarat Nabi Zakaria kepada kaumnya seperti yang di ceritakan dalam
Al-Qur’an “Maka ia keluar dari mihrab
menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih
di waktu pagi dan petang.” Q.S Maryam/19:11
d) Bisikan
kepada hati manusia seperti dalam ayat berikut : “sesungguhnya setan itu membisikan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu”. Q.S .Al An’am/6:121
Sedangkan
menurut istilah wahyu adalah “pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang
hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara samar tapi
meyakinkan kepada Nabi/ Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya
adalah benar-benar dari Allah”. [3]
Wahyu secara
etimologi (ilmu asal-usul kata) berarti petunjuk yang di berikan dengan cepat.
Cepat artinya datang secara langsung ke dalam jiwa tanpa di dahului jalan
pikiran dan tidak bisa di ketahui oleh seorangpun.
[1] Prof.H. Zaini
Dahlan,MA. Dkk, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta:PT. Dana
Bakti Wakaf,1991) hal.10
[2] Khattan,
Mabahis fi Ulum, h. 32-33
[3] Munah, “Metodologi Ilmu Tafsir,
h. 94
Wahyu (al-wahy),
secara semantik, berarti “isyarat yang sangat cepat ( termasuk, bisikan dalam
hati dan ilham )”. Dalam Al-Qur’an , wahyu digunakan dalam beberapa pengertian
, seperti:
1. “isyarat”. [4]
2. “pemberitahuan
secara rahasia”. [5]
3. “perundingan
yang jahat dan bersifat rahasia”. [6]
4. “ilham
yang diberikan kepada binatang”. [7]
5. “ilham
yang diberikan kepada manusia”. [8]
Wahyu secara
terminologis adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dan diyakini bahwa
pengetahuan itu datang berasal dari Allah , baik melalui perantara suara atau tanpa suara , maupun tanpa perantara. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa wahyu tidak sama dengan ilham , kasyaf vision
(penglihatan batin) , perasaan dalam jiwa dan sebagainya. Seperti ayat berikut
:
وَمَا كَانَ
لِبَشَرٍأَنْ يُكَلِّمَهُ آللَّهُ إلاَّوَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ
يُرْسِلُ رَسُولاً فَيُوحِىَ بإِذْنِهِ مَا يَشَآءُ إِنَّهُ عَلِىحَكِيْمٌ
Artinya:“Dan,
tiada manusia yang Allah berfirman kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari
belakang tirai, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu di
wahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia
Maha tinggi lagi Maha bijaksana”.
[9]
Wahyu Allah
kepada nabi Muhammad tidak hanya Al-Qur’an, namun juga Al-Hadist (sunnah). [10]
Hal ini
sebagaimana firman Allah:
وَمَايَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى ، إِنْ هُوَإِلاَّوَحْيُ يُوْ حَى
Artinya: “Dan tiadalah yang di ucapakannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diriwayatkan
(kepadanya).” [11]
Dari ayat di atas, dapat di
simpulkan bahwa al-sunnah juga termasuk wahyu, namun al-sunnah tidak
bermukjizat. Al-sunnah berfungsi menjelaskan hal-hal yang umum yang ada dalam
al-qur’an.
[4] QS. Maryam, 9:8
[5]QS. Al-An’am, 6:112
[6]QS. Al-An’am, :121
[7]QS. An-Nahl, 16:68
[8]QS. Al-Qashas, 28:7
[9] QS. As-Syura’, 42:51
[10] Lihat kesimpulan yang dikemukakan oleh Moh.
Shoim, Buku Ajar Ulumul Hadist (Tulungagung: Diktat tidak diterbitkan, 2000),
h. 8
[11] QS. Al-Najm/53: 3-4
Fungsi Wahyu
a) Untuk
memberikan penjelasan tentang kehidupan kedua (kehidupan setelah kita
mati,kehidupan yang sesungguhnya).
b) Menolong
mengetahui alam akhirat.
c) Sifat dasar
manusia sebagai makhluk social yang harus hidup berkelompok.
d) Menolong
akal dalam mengetahui tentang adanya Allah dan dapat mengetahui semua
sifat-sifat Allah.
e) Menguatkan
pendapatan akal dan meluruskan melalui sifat sacral dan absolute yang terdapat
dalam wahyu.
f) Menjadi
sumber-sumber hukum Allah
g) Menjadikan
peringatan dan pelajaran bagi manusia dll. [12]

[12] Nur Kholis,Pengantar Al-Qur’an dan Hadist,(Yogyakarta:Teras,2008) hal. 20
2. PROSES PEWAHYUAN
Al-Qur'an
turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Masa turun ini dibagi menjadi
2 periode, yaitu periode Mekkah selama 12 tahun (Makkiyah) dan periode Madinah selama 10 tahun
(Madaniyah).
Berdasarkan
( QS.As-Syura’ , 42:51 ) dapat di ketahui bahwa wahyu yang dikaruniakan Allah
kepada manusia ada tiga macam:
1) Pewahyuan
(menurunkan wahyu).
Pewahyuan
cara ini adalah sesuai dengan makna wahyu dalam arti bahasa-isyarat yang cepat.
Allah mencampakkan pengetahuan ke dalam jiwa nabi tanpa melalui perantara
malaikat.Wahyu jenis ini adalah seperti mimipi nabi Ibrahim yang diperintahkan
menyembelih putranya (ismail), seperti dalam ayat berikut, yang artinya:
Ibrahim berkata: ”Wahai anakku! Sungguh, aku melihat
dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu”.
Ismail menjawab:” hay ayahku! Kerjakanlah apa yang di
perintahkan kepadamu, insya allah, kamu akan mendapatiku termasuk dari
orang-orang yang sabar”. [13]
2) Mendengar
suara dari belakan tirai atau hijab.
Pewahyuan
cara kedua disampaikan dari belakang tirai, maksudnya kalam Allah di sampaikan
oleh-Nya kepada seorang nabi dari belakang hijab atau tabir seperti ketika
allah memenggil nabi Musa dari belakang sebuah pohon, dan nabi Musa mendengar
panggilan Allah itu. Seperti dalam ayat berikut, yang artinya:
“Maka, ketika ia (musa) datang ke tempat api itu, ia
dipanggil: hai Musa! Sesungguhnya aku inilah Tuhanmu, lepaskanlah kedua
tanganmu. Sesungguhnya Kamu berada di lembah yang suci, yakni Thuwa. Dan, aku
telah memilihmu, dengarkanlah apa yang diwahyukan (kepadamu)”.
[14]
3) Perantara
malaikat (Jibril) yang membawa wahyu
Pewahyuan cara yang ketiga ini, di sampaikan Allah
kepada seseorang melalui utusan (malaikat yang mengembang risalah, yakni
malaikat Jibril) dengan kata-kata yang di ucapakan. Pemberian wahyu cara ini
hanya terbatas bagi para Rasul, berbeda dengan bentuk pertama, wahyu bentuk
ketiga tidak sekedar konseptual, tetapi sudah di bungkus oleh kata-kata
(kalam). Dalam hal ini ada dua macam cara, yakni Nabi dapat melihat malaikat
Jibril, adakalanya dalam bentuk yang asli dan ada kala Jibril menjelma sebagai
seorang manusia.
[13] QS. As-Shaffat, 37:102
[14] QS.
Thaha, 20:11-1
Berikut ini adalah jenis wahyu yang di alami nabi
Muhammad :
1) Mimipi yang benar. [15] Aisyah Radhiyallahu Anha berkata,
“Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat
mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.” [16]
2) Dihembuskan ke dalam jiwa Nabi
perkataan yang dimaksudkan. Mujahid dan kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan wahyu dalam Q.S Asy-Syura (42) ayat 51 ialah Tuhan
memasukkan wahyu yang dimaksudkan ke dalam jiwa Nabi.
3) Gerincingan lonceng yang sangat
keras. Martabat inilah yang paling berat diterima Nabi. [17] Apabila Wahyu yang turun kepada Rasulullah
dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya
untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan
sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat
memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan
geemrincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR.
Al-Bukhari).
[18]
4) Malaikat
Jibril menyamar seperti seorang laki-laki yang berjubah putih. Misalnya ketika
nabi Muhammad menerima wahyu tentang Iman,Islam, dan tanda-tanda hari kiamat.
5) Jibril
memperlihatkan dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli. Cara yang seperti
ini terjadi ketika nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama (QS.al-Alaq ayat
1-5).
6) Allah berbicara dengan Nabi dari
belakang hijab, baik Nabi dalam keadaan sadar (jaga) seperti di malam Isra’
ataupun dalam tidur, seperti yang diriwayatkan oelh At-Turmudzy dari Hadits
mu’adz.
7) Israfil turun membawa beberapa kalimat wahyu,
sebelum Jibril datang membawa wahyu Al-Qur’an. [19]
![]() |
[15] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit., hlm 12-13
[16] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Op.cit., hlm 38
[17] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit., hlm 12-13
[18] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Op.cit., hlm 38
[19] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit.,hlm 14
3. KODIFIKASI AL-QUR’AN
Kata kodifikasi/ pengumpulan Al-Qur’an (Jam’
Al-Qur’an) terkadang dimaksudkan sebagai pemeliharaan dan penjagaan dalam dada
(bilhifzhi), dan terkadang dimaksudkan sebagai penulisan keseluruhannya, huruf
demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat (bilkitaabah).
Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya,
sedangkan yang pertama medianya adalah hati dan dada .
a.)
Kodifikasi Al- Qur’an pada masa Rasulullah SAW.
Rasulullah dalam mengekspresikan wahyu bukan hanya dalam bentuk
hafalan, tetapi juga dengan bentuk tulisan. Setiap kali sehabis Rasulullah menerima wahyu, Rasul
memanggil beberapa orang sahabat dan memerintahkan salah seorang lakai-laki. Mereka
disebut juga sebagai kuttab al-wahyi (para penulis wahyu) diantaranya adalah
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Zaid bin
Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Abi sufyan, Kholid
bin Sa’id bin Al-Ash, Hanzhalah bin Ar-rabi’, dan lainnya.
Proses penulisan pada masa Nabi sangatlah
sederhana, mereka menggunakan alat tulis yang sangat sederhana yang berupa
kulit kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu. Setelah selesai menulis
wahyu tersebut lalu dikumpulkan di kediaman Rasulullah SAW, dan masing-masing dari
mereka menyimpan satu naskah.
Pada masa
Rasulullah penjagaan Al-Qur’an dilakukan dengan dua cara yaitu :
·
Al- Jam’u bima’na hafazhahu fi al-
Shudur
Pada bagian
ini para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW
menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan
kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka
diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat
masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Di antara
para sahabat yang paling terkenal dalam hafalan Al-Qur’an berdasarkan
riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, mereka adalah Ibnu Mas’ud,
Salim bin Ma’qal, Mu’azd bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid
bin As Sikkin, dan Abu Darda . Mereka berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar.
·
Al- Jama’u bimana’na kitabatuhu fi Suthur
Setiap kali
turun wahyu kepada Rasulullah SAW, Beliau selalu membacakannya kepada para
sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya. Biasanya
sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa
Ar-Riqa’ (kulit binatang), Al-Likhaf (lempengan batu), Al-Aktaf (tulang
binatang yang kering), Al-`Usbu ( pelepah kurma), Al-Jarid (kulit batang pohon
kurma), Al-Aqtab (pelana kuda), Ash-Shuhuf (kertas), Al-Alwah (papan),
Azh-Zhurar (batu tipis), Al-Khazaf (tanah yang dibakar/batu bata), Al-Karanif
(akar keras pohon saf) . Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah tidak
terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh
yang lain.
b.)
Kodifikasi Al- Qur’an pada masa Abu Bakar
Setelah
Rasulullah wafat dan Abu bakar dipilih menjadi khalifah.Pada masa pemerintahan
Abu Bakar inilah terjadinya kodifikasi Al-Qur’an yang mana susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi
tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu
Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan
menumpas seorang nabi palsu, yakni Musailamah Al-Kadzdzab dan para pengikutnya.
Hingga pada akhirnya peperangan tersebut menewaskan 700 orang sahabat penghafal
Al-Qur’an. Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an, lalu Umar bin Khattab
menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari
berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan. Pada
awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab.
Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar
bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya dan akhirnya Abu Bakar
menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit
untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak
perintah Abu Bakar dengan alasan yang sama. Setelah terjadi musyawarah,
akhirnya Zaid bin Sabit menyetujui usulan tersebut.
Dalam usaha pengumpulan ini, Zaid Bin Tsabit berpegang
pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari
sahabat dan naskah –naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk mereka sendiri.
Zaid bin Tsabit menghimpun surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan
petunjuk Rasulullah sebelum Beliau wafat dan menulisnya pada berbagai macam
benda.
Lembaran hasil pengumpulan Al-Quran itu kemudian
disimpan di tangan Abu Bakar hingga wafat, setelah itu berpindah ke tangan Umar
sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tanagn Hafsah bin Umar. Semua sahabat
sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah
dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf.
Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya
kembali.
c.)
Kodifikasi Al- Qur’an pada masa Utsman Bin Affan
Pada masa
khalifah Utsman bin Affan kaum muslimin mulai banyak yang berselisih tentang
Al-Quran. Disebutkan bahwa di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat
nabi yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman terkejut melihat adanya perbedaan
dalam membaca Al-Quran hingga satu kaum mengkafirkan yang lain.
Setelah itu
Hudzaifah segera mendatangi khalifah Utsman dan berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Quran sebagaimana
perselisihan antara Yahudi dan Nasrani.” Kemudian Utsman bin Affan menerima
usulan tersebut. Beliau lalu mengirimkan utusan untuk meminjam mushaf kepada
Hafshah untuk disalin. Ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Said bin Al-‘Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk
menyalinnya ke dalam beberapa mushaf.
Mushaf yang telah tersusun kemudian disalin dan
dikirimkan tujuh kota, yaitu Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan
Madinah. Walaupun sebenarnya terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini. mushaf
inilah yang dikenal dengan mushaf Utsmani. Lalu Utsman bin Affan
memerintahkan kepada seluruh negeri agar umat muslim menggunakan mushaf
Utsmani. Ia juga memerintahkan semua mushaf yang bertentangan dengan mushaf
Utsmani dibakar. , banyak para sahabat dan tabi’in yang marah. Mereka
mengecam tindakan Utsman bin Affan yang tidak pernah dilakukan oleh Abu Bakar
dan Umar bin Khattab.
Menanggapi kecaman tersebut, kemudian Utsman bin Affan
menulis surat kepada para sahabat-sahabat beliau untuk menyetujui tindakan
tersebut demi kebaikan bersama dan menghindari perselisihan. Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang
memennnuhi persyaratan berikut:
·
Harus
terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
·
Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakhdan ayat
tersebut tidak diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi saw pada saat-saat
terakhir.
·
Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampppu
mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an
ketika turun.
·
Kronologi surat
dan ayat seperti yang di kenal sekarang ini. Berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan
mushaf Utsmani.
Semua
yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan.misalnya yang di tulis di
mushafsebagian sahabat yang merasa juga menulis makna ayat atau penjelasan
nasikh-mansukh didalam mushaf .[20]
d.) Usaha
Lanjutan dalam Penyempurnaan Mushaf Usmani
Tulis menulis dalam kalangan orang Arab Jahiliyah amat
sedikit. Yang pertama belajar menulis di antara orang Arab
ialah Basyr ibn Abdul Malik, ia belajar kepada orang Al-Anabar.
Islam terus menerus berkembang baik wilayah maupun
pemeluknya. Banyak orang non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu
benturan-benturan kultural antara masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam
(non-Arab) tidak dapat dielakan. Sebab, dikalangan masyarakat Islam terutama
orang non Arab sering terjadi kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat Al-Quran.
Dengan adanya masalah
seperti itu maka timbulah usaha untuk memberikan pungtuasi (tanda-tanda baca)
dikalangan para ulama ketika itu.
·
Abu
Amr al-Daniy dalam hal ini mengemukakan bahwa, tidak mustahil apabila penulisan
titik (sebagai tanda baca) dimulai oleh para sahabat Nabi.
·
Abu
al-Awad al-Du’ali, dialah sebagai ulama ahli pertama dalam bidang kaidah bahasa
Arab atas perintah khalifah Ali bin Abi Thalib. Menurut suatu riwayat
mengatakan bahwa Abu al-Aswad al-Du’ali pernah mendengar seseorang di Basrah
membaca ayat Al-Quran dengan cara yang salah, sehingga merubah semua pengertian
dan maksud yang terkandung dalam ayat yang dibaca itu. Kesalahan orang tersebut
disebabkan karena tidak adanya tanda baca yang menunjukan bagaimana seharusnya
ayat tersebut dibaca.
Sejak kejadian itulah
Abu al-Aswad al-Du’ali mulai melakukan pekerjaannya, dan hasilnya sampai kepada
pembuatan tanda fathahberupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah
satu titik dibawah huruf, dan tanda dhomah berupa tanda titik disamping
huruf, dan tanda sukun berupa dua titik. [21] Dapat
disimpulkan yaitu yang terlebih dahulu meletakan titik dan harakat atau tanda
baca lainnya, bahwasanya mereka semua itu telah ikut andil dalam upaya menutup
kemungkinan terjadinya kekeliruan didalam membaca Al-Quran, sekaligus
memperbagus dan memperindah Al-Quran.
[20] Marzuki, op. Cit., hlm. 76
[21] Manna’a khalil al-qhatthan, mabahits fi ‘ulum
al-quran, (al-Syarikah al-Muttahidah li al-Tauzi,1973), h.150
4. SEJARAH PENCETAKAN AL- QUR’AN
Sejarah
merupakan peristiwa masa lampau yang sebenarnya telah membangun peradaban masa
kini. Pada sejarah Perkembangan pencetakan Al-Qur’an terutama di Barat
tidak bisa diacuhkan atau dipandang sebelah mata, karena Baratlah yang pertama
kali menemukan mesin cetak yang mampu mencetak buku-buku termasuk Al-Qur’an yang disebarkan secara
massal.
Percetakan
Al- Qur’an dapat dibagi menjadi tiga periode, periode percetakan klasik
(1.500-1900 M), periode mesin cetak modern (1920-1980 M) dan periode digital
mushaf (1.800-Sekarang). Sebelum berkembangnya bahasa-bahasa Eropa modern,
bahasa yang berkembang di sana adalah bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan
Al-Qur’an yang pertama adalah dengan bahasa latin
pada tahun 1135 M. Tokoh yang menerjemahkan ke dalam bahasa ini adalah Robert
of Ketton (Robertus Retanensis) yang selesai pada bulan Juli 1143 M dengan penerbitnya Bibliander.
a) Percetakan Awal Al-Qur’an
Al-Qur’an pertama
kali dicetak dan diterbitkan di Venice (Venisia) sekitar tahun 1530 M. kemudian
di Basel pada tahun 1543 M, tetapi setelah beberapa percetakan itu dihancurkan
atas perintah para penguasa gereja. Orang yang pertama kali mencetak Al-Qur’an adalah Paganino dan
Alessandro Paganini – sekitar tahun 1537 atau 1538 M. Namun sayang sekali
cetakan yang telah dicetak keduanya tidak diketahui keberadaannya. Salah
seorang sarjana Itali, yakni Angelina Nouvo menemukan photo Copy Al-Qur’an yang pernah dicetak di Venisia. Photo Cory
tersebut ditemukan di Isola – Venisia – tepatnya di perpustakaan Fransiscan
Friars of San Michele.
Percetakan
yang dilakukan Paganino dan Paganini ini bertujuan untuk dieekspor ke kerajaan
Turki Utsmani. Tetapi orang-orang Turki Utsmani tidak mau menerima Al-Qur’an tersebut karena:
·
Orang Turki Utsmani meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang tidak
boleh dipegang oleh orang-orang kafir – non muslim – seperti Paganino dan
Paganini. Menurut Jean Bodin (1530-1596 M) dalam bukunya “Colloquium
Heptaplomeres”, bahwa orang-orang Turki Utsmani memotong tangan kanan
Alessandro Paganini dan merusak seluruh cetakannya.
·
Al-Qur’an yang
dicetak di Venisia memiliki banyak kekurangan dan kesalahan yang bisa
mengurangi bahkan merusak makna Al-Qur’an.
b)
Percetakan Al-Qur’an
di Jerman
Percetakan ini dilakukan di Hamburg pada tahun
1694 M. oleh Abraham Hinckelmann. [22]
Empat tahun kemudian Ludovico Maracci mencetak edisi teks Arab dengan
terjemah bahasa Latin. Ludovisi Gustav Flugel dengan edisi Arab yang mencetak secara khusus di Leifzig pada
tahun 1834 M. Lalu diikuti dengan cetakan berikutnya pada tahun 1841, 1855,
1867, 1870, 1881 dan 1893 M. Edisi ini banyak diikuti oleh sarjana Barat
setelah perang dunia I.
c) Percetakan Al- Qur’an di St. Petersburg
Hampir satu abad kemudian setelah cetakan
Hamburg muncullah cetakan Al- Qur’an yang spesial pada tahun 1787 di St.
Petersburg. Setelah perdamaian Küçük Kaynarca sehabis perang Rusia -Turki (1768 - 1774), sejumlah
wilayah Turki jatuh di kekuasaan Rusia. Dalam kondisi ini, Yang Mulia Ratu
Rusia Tsarina Catherine II menyuruh agar Al- Qur’an dicetak dengan tujuan politis.
Dimulai pada tahun 1787, 1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798 M. Sejak tahun 1842 M
percetakan St. Petersburg mencetak mushaf dengan model yang bervariasi.
Sehingga pada tahun 1905 M percetakan ini mengeluarkan mushaf dengan bentuk
format yang besar dengan tujuan untuk diperlihatkan kepada pemerintah pada
waktu itu.
d) Percetakan
Al- Qur’an di London (Inggris)
Kekaisaran Ottoman mencetak Mushaf al-Quran
dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Edisi cetakan ini lebih dikenal
dengan edisi Malay Usmani. Edisi ini lalu diikuti oleh percetakan lainnya. Di
kota Volga, Kazan, Al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun tahun1833 M
kemudian pada tahun 1871 dan 1875 M. Bahkan mushaf yang ada di Perpustakaan
Universitas Harvad merupakan mushaf cetakan London edisi tahun 1845 dan 1848 M.
e) Percetakan
Al- Qur’an di Bobay (India)
Cetakan di Bombay ini dimulai pada tahun 1852,
1865, 1869, 1875, 1881, 1883, 1891 dan 1897 M. Percetakan ini pertama kali
disebarkan pada tahun 1856 dan 1857. Sedangkan cetakan Bombay dengan memakai
pengantar bahasa persia dan disertai dilakukan oleh Muhammad Ali Qashânî.
Percetakan Calcutta yang disertai dengan tafsîr al-Zamakhsyarî diproduksi oleh
William Nassau Lees, Abdul Hayyi dan Khaddâm Husain.
[22] Abraham
Hinckelmann (1652-1692) adalah sarjana non-muslim yang pertama kalimencetak
Al-Qur’an lengkap di Hamburg. Lihat Abraham Hinckelmann dalam
Wikipedia.http://en.wikipedia. org/wiki/ Abraham_ Hinckelmann. diunduh tanggal
16 Juli 2009
f)
Percetakan Al- Qur’an di Kairo (Mesir)
Menurut Sarkîs, Al- Qur’an dicetak di Kairo
terjadi pada tahun 1864 M., kemudian pada tahun 1866, 1881 dan 1886 M. Edisi
Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Al-Qur’an (qiraat) yang
beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri
merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern.
Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah,
versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al- Duri dari Abu
Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan
versi Hafs dari Asim. Edisi Mesir ini juga dikenal dengan edisi Raja Fadh
karena dialah yang memprakarsainya.
g) Percetakan Al- Qur’an di Turki
Dimulai pada
tahun 1872, 1886, 1889 dan 1904 M.
h)
Percetakan Al-Qur’an di Indonesia
Al- Qur’an
Cetakan Indonesia pada tahun 1848 menurut penelitian Fawzi A.Abdulrazak dan Ian
Proudfoot Muhammad Azhari, orang asli Palembang, Sumatera membuat sebuah
litografi Al- Qur’an yang kemudian dia cetak. Dia membeli peralatan percetakan
di Singapura ketika mau kembali dari Makkah ke Sumatera. [23] Namun ada yang mengatakan bahwa yang mencetak
adalah Ibrahim bin Husain di toko percetakan miliki Muhammad Azhari di
Palembang.[24]
Menurut versi lain, yakni menurut Alhumam, sebagaimana
dikutip oleh M. Ibnan Syarif, bahwa pencetakan Al- Qur’an di Indonesia dimulai
pada sekitar tahun 1950 oleh penerbit Salim Nabhan dari Surabaya dan Afif dari Cirebon.
Penerbit Salim Nabhan berdiri pada tahun 1904. Sebelum mencetak Al- Qur’an penerbit
Salim adalah pemasok buku-buku berbahasa
Arab. [25] Kemudian pada
tahun 1957, menara Kudus yang merupakan percetakan tertua di Jawa Tengah
mencetak Al- Qur’an pojok atau bahriyya yang dikhususkan untuk huffadz (para
penghafal al-Qur’an). Pada tahun 1974 dicetak Juz Amma yang dikhususkan bagi
pembelajar Al - Qur’an. [26] Pada
tahun berikutnya, pencetakan Al- Qur’an mulai berkembang pesat. Muncullah
penerbit-penerbit Al- Qur’an seperti Penerbit Bina Progresif yang berdiri tahun
1960, CV. Mahkota di Surabaya, CV. Madu Jaya Makbul, PT. Bina Ilmu, UD Surya
Cipta Aksara dan lain-lain.
23] Michael
W. Albin, “Printing of the Qur’an”...hlm. 271
[24] Jan Van Der Putten, “Printing
in Riau: Two stpes toward Modernity” dalam jurnal Bijdragen,deel 1534e
Aflevering, 1997,hlm 718.
[25] M.Ibnan
Syarif, Ketika Mushaf Menjadi Indah,hlm. 61.
[26] Ibid,hm. 62
Perkembangan
berikutnya adalah munculnya upaya untuk memelihara dan menjaga kesucian Al- Qur’an
dari kesalahan cetak. Pada tahun 1951, Rektor IAIN (kini UIN) Syarif
Hidayatullah, M. Adnan membentuk kelompok Pentashih Al- Qur’an. Kelompok ini
bertujuan memeriksa dan mentashih Al- Qur’an cetakan agar tidak ada kesalahan
cetak.
Pada tahun
1957, pemerintah melalui Departemen Agama (kini menjadi Kementerian Agama)
membentuk Lajnah Pentashih Al- Qur’an sebagai badan resmi yang bertugas
meneliti dan menjaga kemurnian dan mentashih Al- Qur’an.
i)
Al- Qur’an Cetakan Sa’id Nursi
Selanjutnya,
pada tahun 1947 untuk pertama kali Al- Qur’an dicetak dengan teknik cetak
offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah, yakni perpaduan
tulisan tangan yang cantik dengan teknologi percetakan offset modern. Teks
tulisan tangannya ditulis oleh kaligrafet Turki Hamid al-'Amidi. Pencetakan ini
dilakukan di Turki atas prakarsa seorang kaligrafer Turki yang terkemuka,
Badiuzzaman Sa’id Nursi (1876-1960). Kemudian sejak tahun 1976 Al- Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh
percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman).
Selain di negara-negara di atas, di beberapa negara
juga mulai ramai percetakan Al-Qur’ân. Seperti di Iran (1828 M), Tibris (1833
M) dan percetakan lainnya. Selain dicetak, mushaf atau naskah Al- Qur’an yang
autentik dari masa khalifah Utsmân juga bisa dijumpai. Tetapi menurut Dadan
Rusmana ia hanya tiga buah, ketiganya berada serta tersimpan di museum Tashkent
(Rusia), musium Istambul (Turki) dan satunya lagi di musium Kairo (Mesir). [27]
[27]Dikutip dari
H.A. Athaillah, Sejarah al-Qur’ân: Verifikasi Tentang Otentisitas al-Qur’an...hlm.
372.
BAB
III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
a)
Wahyu adalah perintah Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi atau Rasul melalui perantara malaikat Jibril dalam keadaan cepat dan
sangat rahasia.
b)
Wahyu dalam arti bahasa juga dapat digolongkan menjadi
4 bagian, yaitu Ilham murni pada manusia, Ilham insting pada hewan, Isyarat
dengan cepat dengan menggunakan simbol atau sejenisnya dan Bisikan kepada hati
manusia.
c)
Cara Allah menurunkan wahyunya kepada Nabi atau Rasul
ada melalui memerintahkan malaikat Jibril untuk menyamapaikan wahyunya kepada Nabi
atau Rasul kadang juga Allah lansung menyampaikan wahyunya kepada Nabi atau Rasul
tersebut. Dan malaikat Jibril tersebut ketika menyampaikan wahyu dengan cara
menyamar, menjelma seperti mausia, dan kadang juga dengan wujud aslinya.
d)
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu
bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan
petunjuk Rasul, walaupun surat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat
sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang
terdiri dari benda-benda yang beragam.
e)
Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah
bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushaf yang terbuat dari
lembaran-lembaran yang beragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan
ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.
f)
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah
menyeragamkan bacaan Al-Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian
membukukannya dengan menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah
ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna
yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan
dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.
g)
Percetakan Al- Qur’an dapat dibagi
menjadi tiga periode, periode percetakan klasik (1.500-1900 M), periode mesin
cetak modern (1920-1980 M) dan periode digital mushaf (1.800-Sekarang).
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr.Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, PT PUSTAKA RIZKI PUTRA semarang,2009
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an.
Bandung.: Humaniora.
1 Komentar:
thanks infonya yaa..
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda